05 October 2008

Sesaat Sebelum Berakhir

Labels:

Sesaat Sebelum Berakhir

Nasi yang tergelar di daun pisang itu, kian menepis. Lele goreng dan sambel itu juga tak mau kalah, menipis tinggal duri dan daging tipis yang melekat di ujung ekor. Sambel juga. Lalapan hilang entah kemana. Yah! Ada 10 tangan kanan bernafsu berebut nasi, lele goreng dan sambel. Ada 10 mulut yang sibuk mengoceh, mengomel tak jelas, mengunyah sembari melepas kelakar, bikin muntah mulut2 protokoler.

Belepot memang, mulut, tangan dan kaki. Kotor? Pasti! Nasi, lele goreng, sambal bergumuk pasir pantai. Hancurkah rasanya? Jelas!. Tapi ini yang disebut atas nama kebersamaan dan sayang kalo dibuang. Sisihkan pasir, kumpulkan nasi, sejumput sambel dan secuil daging lele goreng. Dikolek2, siapkan mulut. Sajikan ke mulut. Berebutkah? Harus! Namanya juga kebersamaan. Ya pastilah berebut. Itulah asiknya. Ada cinta yang dikunyah dan dimuntahkan dalam lingkar kebersamaan. Ada senyum yang tidak dipaksa. Bacot yang ikhlas, sekedar mengumpat, atau bicara rusuh seadanya. Untuk satu kelakar yang indah. Atau membagi senyum, tawa dari mulut yang tidak mudah jenuh dengan kejujuran dan sebakul kebahagiaan yang murah meriah tanpa harus ngutang pada pelawak kacangan atau da’i jadi-jadian. Semua muncul dari lembabnya hati. Dari bibit _satu untuk semua kebodohan yang rupawan_yang ditanam saat jumpa dimalam keakraban 1999. Tumbuh subur seiring semakin gobloknya perjalanan waktu. Yang ngigau sebagai raja dari segala langkah-langkah mungil serial sinetron kehidupan manusia. Dan panen itu tiba, buahnya lezat, nikmat bernama tangan terjabat erat. Manis, asam, lalu pahit, kemudian gigitan kedua asam diselanya terasa manis dan pahit lagi. Hampir mirip sama apa itu tipu-tipu jaman.

Yah, sebodoh mungkin hidup ini dibuat sederhana. Seperti kesepuluh wajah itu, mereka tahu pasir itu bukan lauk yang tepat untuk nasi. Tapi tetap saja, kunyah, telan, masuk kekerongkongan. Terjun bebas ke pencernaan. Senyum. Selesai.

Tepian pantai, lemah mencengkeram deburan ombak Pantai itu. Berlari menjauh dan bertumbuk di ujung palung. Buyar bubar. Sedemikian juga hancurnya terik siang, bertebaran menjauh menyambut gelak kelakar sang penguasa malam. Pergi jauh di balik gumuk. Hanya jingking yang betah berkejaran dengan gemulung riuh ombak. Berlari masuk kelobang pasir. Bersembunyi, mengintip dibalik-balik kilau pasir pantai. Tapak riuh canda itu hilang satu persatu. Terbasuh ombak. Halus rata oleh pasir. Tidak sedikitpun bekas tertinggal. Halus, rata. Seperti sediakala. Tidak ada daun pisang, alas kembulan. Tidak ada, halus, rata. Hari sudah larut malam, saatnya dongeng berterbangan dan hinggap di benak para pecintanya. Dongeng
indah kisah-kisah tadi siang. Sepanjang waktu mendengar dongeng-dongeng itu, sebetahnya pergantian hari yang pergi namun tak ingin kembali.

Bulan April 2007,
kenangan mengajakku mampir, kembali ke tempat itu. Tepian pantai. Mata ini aku bebaskan menikmati apa yang sudah terjadi di waktu lampau. Aku duduk. Gemulung ombak tak henti-hentinya menarikku ke dalam satu cerita yang sesaat dulu pernah aku lupa. Rambutku tertampar angin. Sekali, dua kali lalu sekali dan seterusnya. Sebutir pasir menyelinap di mata. Perih. Ku usap, berair, namun tak juga pergi.

“Hahaha.. Untungyang nyelip tuh pasir, coba kalo truk tronton..”
Mata ku usap, sekarang lebih kuat.
“Jangan diusap pake tangan! Nih pake sendalku!!”
HAHAHahahaha..

“Gimana lebih enakkan?”

Benar tak ada lagi pasir di mataku. Namun apa yang aku lihat lebih mengganggu mata ini. Ku usap lagi. Lagi. Kemudian sekali lagi. Lenyap sudah teori tentang fatamorgana. Terik mataharipun bukan jadi alasan untuk mengelabuhi mataku. Apa yang ku lihat nyata. Bukan semu. Dan bukan juga racun otak yang memaksa logika bekerja tak sempurna. Lelaki itu duduk di sampingku. Melempar senyum. Lalu berlari menuju bibir pantai. Korek gas ku nyalakan dan ku sulutkan ke kelingking. Panas. Lelaki itu melambai. Diam. Dan belari ke arahku.

“kalau Cuman
mampir bengong! Mending ke terminal sukur-sukur ada yang kasihan trus dijual ke
Arab, Ayo!”.

Ditariknya lengan bajuku. Aku berdiri. Ku tatap lagi lelaki itu. Nyata. Tas aku letakkan. Ku lepas sepatu, kaos kaki. Dan ku berlari mengejarnya. Dan sebentar aku sibuk dengan permainan bola. Tidak hanya satu aku lihat ke delapan lelaki lain. Senyum. Tawa. Cerita. Waktu. Hilang. Hampa. Sepi. Hanya desir angin dari sela rumput liar.

***
Kaki ini terpaku, pasir menenggelamkan sebatas tumit. Air laut bergulung menepi. Lembut menyentuh jemari kaki. Lalu pergi membawa kembali apa yang diberikannya. Menyisakan jejak-jejak yang tak ada. Sisa waktu jatuh berdegum di bulir-bulir pasir. Pingsan dan tak bicara lagi. Dongeng akan kehebatan sebuah persahabatan dan cerita-cerita di lontar-lontar rapuh, hari ini aku baca kembali. Angin telah memaksa air bergemuruh membantai tepian pasir. Senja tak lagi berpantun dengan malam. Mungkin separuh bulan yang terlahap batara kala terpasung di balik sepasukkan awan. Dan aku dan mitos sebuah kenangan adalah nyata, berdiri sendiri, disini bersama sapuan ombak yang terburu-buru pulang ke lautan.

Teruntuk kawan-kawanku. Nyawa memaksa tubuhmu berjingkrak resah menerima kenyataan, bahwa hidup tidak senikmat semangkuk mie Ayam Purworejo. Atau semanis segelas kopi hitam Bonbin. Ada brotowali yang tercelup didalamnya, mempertahankan hidup sebaik mungkin. Kawan sampai saat ini aku lihat kalian sudah sebaik-baiknya menjalankan peran sebagai seekor manusia. Mahkluk yang katanya paling sempurna dari kucing, kodok, atau kecoa. Kesempurnaan itu sudah kalian raih. Walau kadang harus tersayat waktu. Tergores dalam aturan dunia. Dan terpenggal keputusan kodrati. Tapi tegar dan berdiri sendiri dengan kelumpuhanmu, membuatku ingin mengiba satu permintaan. Kapan kalian istirahat sejenak.
Meregang kemerdekaan mulut tuk bersenandung keresahan, kesetiaan, luka, dendam dan tawa
ala kadarnya. Atau duduk santai di basahnya rumput Telomoyo. Memuji nikmatnya secangkir kopi hitam. Yang kita sedu dengan sederhana. Atau semanci mie instan untuk kita lahap ala kadarnya. Itu saja lalu kita bicara apapun.

Apapun, selain hilang dari waktu dan berlari di belantara kesendirian.
Kamu yang pilih kawan,
aku menunggu.

6 comments:

Kristina Dian Safitry said...

jadi laper nih ingat nasi ma lele goreng,,he..he...

Senoaji said...

hehehehe..

Anonymous said...

Kawan-kawannya kemana mas?
Apa hingga kini masih menghilang? Ataukah sengaja menghilangkan diri?

*nyambung gak ya? kalau gak nyambung tolong dimaafkan, heheee..

Anonymous said...

@Bung Wendra: bung wendra skrg pst pny skumpuln kawan2 asik d kmpus, nah kasusny tuh, kawan2ku dah pd hijrah k jkt, nyambung idup. aku hny mnulis krinduan pd mrk, hehehe menye2 nih hehehe

Kristina Dian Safitry said...

update yuk update,update..nasi ma lele gorengnya dah habis nih. kalo masih ada gadis juga mau kalo dikasih lagi,he..he..

Anonymous said...

wah tulisanya bisa bikin ngiri.........

Post a Comment

Jan-jan e ngene lho..

KHILAF ITU INDAH

Jangan pernah takut untuk menulis. Jangan pernah merasa tidak bebas menulis. Jangan pernah merasa tulisanmu itu tidak lebih baik dari tulisan siapapun. Jangan pernah dipenjara oleh ketidakmampuan. Jangan pernah merasa tulisanmu tidak layak. Dan jangan pernah berhenti untuk menulis lebih baik menurut ukuranmu.

Apapun aksara dan kata yang kamu toreh. Kamu telah menulis kalimat indah dalam hidupmu. Kelak menjadi cerita, dongeng atau mitos tentang keberadaanmu, karena kamu menulis.

PREKMATANE!

Tentang

My photo
Aku adalah seekor manusia. Dan Selalu ada saat yang tepat untuk menjadi Raja di Kerajaan sendiri. Senoaji

Lagi Pipis

Lagi Pipis
ANTRI DONG!!