Verdancy Code For The Broken Link

Tidak ada yang paling indah selain terwujudnya mimpi. Mimpi? Maaf cita-cita. Mimpi hanya sekedar lamunan yang membawa orang dalam keterpurukkan. Membodohi dan seenaknya bercokol terlalu lama. Memotivasi? Tai kucing.

Lebih baik aku panggil ini dengan nama cita-cita. Lebih sehat, sederhana dan tentu ada jalan keluarnya. Ada batas yang jelas antara tertidur di dunia nyata dengan pulas menjalani kenyataan walaupun ada kalanya harus tertidur. Ya, benar cita-cita. Cita-cita yang selalu aku impikan.

Pagi. Kenapa harus ku awali cerita dengan pagi. Terlalu biasa. Tidak eksklusif. Terlalu melo dan dongeng pengantar sarapan. Tapi ini yang aku rasakan. Aku berada dalam ruang yang terselimuti hari selepas malam. Apa itu yang disebut pagi. Pagi yang indah. Pagi yang ceria. Tak jadi soal.

Aku tidak diciptakan untuk membenci hari. Aku tercipta karena memang aku lah pelengkap Bumi ini. Dari sebuah slogan kesempurnaan harus ada khafah atau penyeimbang. Dan aku salah satu penyeimbang itu. Tuhan telah menciptkan kesempurnaan yang bisa aku rasakan sendiri. Dan orang lain hanya diberi tugas berkomentar, mengkritik, kasih saran atau sekedar kasihan.

Aku telah dicacatkan oleh kemanjaanku yang terlalu yakin esok pagi itu indah. Dan sekarang berjuta-juta pasukan sesal datang silih berganti. Mengolok-olok. Meludah dan berak di mukaku. Semangatku untuk meyakini hidup adalah perjalanan kontrak kerja antara aku dan norma, aturan, dan akidah dan apalah. Mendulang rupiah disela kebobrokan kesempatan kerja. Dan ketidakberuntungan nasib yang acap kali datang tanpa pesan. Ringkasnya, pingsan setengah hidup.