berdialog dengan semut,

berdialog dengan semut,

biasanya kamu udah keburu nongol kalo ada gula tercecer. belum juga teh manis ini aku aminni kenikmatannya. kamu sudah dulaun berkubang didalamnya. Ya aku tahu, gula memang jadi menu favoritmu. apapun yang manis kamu datangi, kamu cium lalu kamu jilati. kemudian beribu2 deh datang kloning2mu. berkerumun dan pesat pora sampe page dengan teh yang belum juga aku amini kenikmatannya.

Terkadang emosiku duluan maju. menyibak lengan baju, dan menghunus sekapur anti kamu[semut]. Kubatasi rejekimu dengan membuatmu muntah2 gak jelas. Aku suka, teh manisku aman. dan dengan leluasa aku bisa membacakan hadits2 kenikmatan duniawi. Dan kamu, matilah kamu dengan seribu kloning2mu. Tapi...

Satu jam lebih aku terpaku, aku akui balasanmu lumayan setimpal. Celana dalam belum juga aku benahi, celana panjangku melorot berkubang dengan air seniku sendiri untuk yang kedua. Mataku hanya bisa mengendapkan keprihatinanku terhadap waktu yang selalu minta penjelasan. Tanpa menamparku sekali saja. Bahwa masih ada yang bisa aku lakukan dengan lebih baik tanpa harus haus dengan rutinitas.

Ku dekati semut itu. Ku berkata
"semut mungkin kamu lupa dengan nostalgia kita dulu...".

"berhentilah menjilati itu, duduklah segera disampigku, ku ceritakan cerita2 kita.. semut... semuut..".

Entah apa yang membuat semut tidak nyaman. Mungkin karena aku belum mengguyur hajatanku? Ataukah semut2 itu dendam dengan perlakuanku kemarin dulu? mungkin dan mungkin juga semut mulai muak dngan dialog manisku. Mungkin.

Ku buru2 benahi celanaku. ku berlari menuju dapur dan segelas besar teh super manis aku olah dengan penuh.... penuh cintakah? harap mungkin lebih tepat? iya harap. Lalu ku berlari kmbali menuju WC.

"Ini aku bikinkan kamu segelas gede teh super manis, ayo... ayoo... ini... aku yakin kalian suka, dan aku yakin gula yang ku campurkan tidak mengandung kapur anti kamu itu[semut], aku jamin... nyawaku taruhannya... ayo... cobalah... jangan malu malu... sini... berhentilah menjilati itu... ayo... ke sini.. "

tanganku bergetar gelas itu teras berat. Isinya tumpah dan gagangnya pecah. Gula belum semuanya lumer, masih seperti pasir. aku pungut satu dan ku dekat ke seekor semut. Di endusnya gula itu, namun... segera pergi dan bergabung dengan kloning2nya...

Ku terduduk lemas. semut yang biasanya menjadi lawan tanding berebut teh manisku. sekarang seakan menjadi pembawa pesan tanpa masa depan. Semut2 itu tahu bagaimana memilih manis, dan aku tahu bagaimana rasanya manis dan pahitnya setelah manis, ku tinggalkan WC, semut dan pesan2nya.